Apalagi di masa pandemi seperti sekarang, sepertinya kita sudah kehabisan kata untuk berkomentar. Ya, pola pendidikan di negara kita memang masih belum ajeg. Beda menteri beda kebijakan kurikulumnya.
Tidak salah memang, karena para menterinya pun hasil kurikulum pendidikan negara kita juga
Tapi terus terang saja, kebijakan yang berbeda-beda tersebut membuat praktisi pendidikan menjadi kelimpungan. Jangankan praktisi pendidikan, orang tua dan siswa/i pun sama-sama kebingungan. Terutama orang tua dan siswa/i yang baru naik ke kelas 6 SD, 3 SMP maupun 3 SMA.
Hal ini dikarenakan, ditingkat sebelumnya mereka belajar berdasarkan kurikulum dari menteri A. Begitu naik kelas, menteri A diganti oleh menteri B yang dengan mudahnya mengganti dengan kurikulum baru. Tentu saja ini akan membuat guru, orang tua dan anak menjadi kewalahan. Guru harus mempelajari dengan kilat kurikulum baru tersebut demi bisa mengajarkan kepada siswa siswinya. Anak-anak harus beradaptasi lagi sedangkan ujian akhir sudah di depan mata.
Yang terjadi adalah meningkatnya level stress dari anak-anak. Kalau itu yang terjadi, maka orang tua yang lebih kewalahan. Pertama, mereka belum tentu mempunyai latar belakang pendidik. Kedua, mereka juga belum tentu mempunyai latar belakang konseling. Hasil akhir, orang tua dan anak menjadi sama-sama stress. Ujungnya, kekerasan dalam rumah tangga meningkat. Jadi merembet kemana-mana.
Begitu juga yang sedang terjadi saat ini. Dengan adanya pandemi, menambah cepat laju tingkat stress anak-anak. Mereka yang biasanya bisa berkalibrasi dengan bermain di luar rumah, sekarang harus tetap di rumah hingga berbulan-bulan. Dengan kondisi yang sedemikian rupa, apa yang terjadi dengan pendidikan anak-anak sekolah? Faktanya, kurikulum yang digunakan masihlah sama dengan kurikulum sebelum pandemi. Sungguh tidak adil bagi anak-anak. Dengan keterbatasn fasilitas, mereka harus dicekoki dengan kurikulum yang masih tetap padat. Seharusnya pemerintah dalam hal ini Mendiknas, haruslah segera menentukan solusi dengan membuat kurikulm darurat. Kurikulum dimana anak-anak hanya mempelajari materi dasar seperti matematika, bahasa, agama, sains dan moral.
Atau bisa juga, pemerintah membuat kurikulum baru yang berbasis potensi dan karakter. Ini lebih adil bagi anak-anak. Karena mereka bisa berprestasi dan dinilai menurut karakter dan potensinya. Tidaklah disamakan semua. Kurikulum ini akan lebih melejitkan potensi anak-anak karena mereka diasah sejak dini.
Sambil mematangkan kurikulum berbasis potensi dan karakter ini, pemerintah bisa menerapkan kurikulum darurat. Diharapkan dengan tersalurkannya potensi anak-anak dalam pendidikan di sekolah, tingkat stress mereka pun akan menurun.
Semoga pemerintah semakin bijaksana dalam menangani bidang pendidikan. Karena pendidikan yang tepat akan melahirkan generasi pemimpin yang bijak. Dan pemimpin yang bijak sangat diperlukan dalam memimpin sebuah negara.